Ani Tetiani, Peneliti Lepas, Alumnus Magister Sosiologi Pedesaan
Zulkieflimansyah, Gubernur Nusa Tenggara Barat, mengibaratkan desa sebagai Alice di Negeri Ajaib. Bedanya, kala ditanya kucing Cheshire, “Hendak ke mana?”, kini Alice tidak lagi menjawab tidak tahu. Ia, sebagai ibarat desa, baru saja memiliki tujuan SDGs (Sustainable Development Goals).
Tidak tanggung-tanggung, buku SDGs Desa: Percepatan Pencapaian Tujuan Pembangunan Nasional Berkelanjutan ditulis langsung oleh A Halim Iskandar, Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi. Penulis menekankan ini bukan keputusan yang mengawang-awang, genit, ndakik-ndakik, atau sekadar lips service (halaman 148). Arah baru pembangunan langsung diimplementasikan ke 74.953 desa-desa di Nusantara mulai tahun 2021, sesuai Peraturan Menteri Desa PDTT No 13/2020 tentang prioritas penggunaan dana desa tahun 2021.
Memang, sejak sebulan terakhir ini, aparat pemerintah pusat, daerah, dan desa, juga pegiat desa dan kelompok masyarakat, riuh mendengungkan SDGs Desa. Berbagai webinar mengaitkannya dengan kepemimpinan, badan usaha milik desa (BUM-Des), ramah kepada perempuan, pendeknya terkait beragam aspek kehidupan desa. Tampaknya, asa baru membangun desa tengah membuncah.
Urgensi SDGs
Mulai dikumandangkan sejak 1945, pengetahuan manusia tentang pembangunan terus berkumulasi. Ini ditandai PBB melalui konferensi tingkat tinggi pembangunan sejak 1960-an sampai 2000-an, baik mengenai lingkungan, sosial, anak, kependudukan, bencana, maupun iklim (halaman 2-8).
Nah, kumulasi pengetahuan pembangunan itu dirumuskan PBB sebagai Sustainable Development Goals pada 2015. Inilah pembangunan yang holistik, lengkap sampai pada pengukurannya secara detail. Karena itu, rumusan SDGs sangat luas, mencakup 17 tujuan global, yang terinci atas 169 indikator capaian (halaman 8, 12, 63, 144, 145, 155). Bahkan, pada 2020, PBB menetapkan indikator capaiannya meningkat menjadi 247 (halaman 145).
Sebagai salah satu pengusul aktif, Indonesia mendudukkan SDGs sebagai arus utama segenap pembangunan, baik di pusat maupun daerah. Perpres No 59/2017 menetapkannya sebagai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), dengan arahan untuk membuat rencana aksi nasional, provinsi, dan kabupaten (halaman 102). Kolaborasi pemerintah dengan perguruan tinggi membentuk pusat studi pembangunan berkelanjutan. Swasta mengarahkan corporate social responsibility (CSR) untuk mendukung kegiatan-kegaitan dalam rencana aksi.
Dari global ke desa
SDGs menandai perubahan global pembangunan, yang melepaskan diri dari ideologi-ideologi yang acap bertolak belakang. Manajemen pembangunan global kini diarahkan pada kesamaan tujuan akhir pembangunan (halaman 79-80). Ideologi kapitalisme dan sosialisasi sama-sama menghilangkan kemiskinan warga, meningkatkan kesehatan warga, hingga menjaga lingkungan hidup di sekitar permukiman.
Persoalannya, pembangunan selama ini selalu berupa narasi akbar, hanya memperhitungkan peran negara atau antarnegara (halaman 69). Kalaupun diturunkan pembahasannya, hanya sampai kepada pelaku ekonomi nasional atau pemerintah daerah.
Padahal, penulis menyatakan desa berkontribusi 74% terhadap SDGs nasional, yang dalam Perpres No 59/2017 disebut Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (halaman 17). Penghitungannya, 91% wilayah pemerintahan berupa desa sehingga pengelolaannya akan memenuhi tujuan energi bersih, pertumbuhan ekonomi, produksi, dan konsumsi. Tujuan berikutnya ialah pemerataan wilayah, infrastruktur, permukiman, tanggap perubahan iklim, lingkungan darat, lingkungan laut, perdamaian, dan kemitraan pembangunan.
Sementara itu, 188 juta warga desa merupakan 43% penduduk Indonesia sehingga pemenuhan kebutuhan mereka menyumbang bagi tujuan penghilangan kemiskinan dan kelaparan, akses kesehatan, air bersih, dan pendidikan, serta kesetaraan gender.
Sayang, sumbangan desa yang sangat besar itu luput dari perhatian. Tanpa menekankan peran desa, SDGs Indonesia selalu menempati posisi terbawah di antara 116 negara. Pada 2016 posisinya sudah pada rangking 98, sedangkan pada 2020 tambah merosot menjadi rangking 101.
Untuk mendaratkan narasi akbar pembangunan sampai ke desa, penulis secara cerdik meminjam pendekatan people centered development (halaman 75-78). Ini langsung membangun kelompok-kelompok masyarakat di lapangan, artinya pembangunan langsung masuk ke desa.
Namun, selama ini metode partisipatoris yang menjadi andalan pendekatan pembangunan ini tidak mampu memutuskan sendiri substansi pembangunan. Keputusan tergantung pada hasil musyawarah sehingga ada kalanya kebutuhan objektif desa tertutupi oleh keputusan musyawarahnya.
Pada titik inilah pelokalan SDGs untuk masuk ke desa menjadi penting. Kolaborasi antarpihak di desa diarahkan untuk memenuhi tujuan-tujuan SDGs.
Pelokalan SDGs Desa
Strategi pelokalan SDGs global sampai ke SDGs Desa dilakukan dengan memasukkan SDGs Desa ke dalam kebijakan resmi pemerintah. Pengindonesiaan tidak sekadar penerjemahan bahasa, tetapi benar-benar diletakkan pada budaya desa-desa di Indonesia. Indikator juga disesuaikan dengan kondisi desa, contohnya indikator jalan tol berubah menjadi jalan desa (halaman 81-82). Dan, secara khusus penulis menambahkan SDGs ke-18 yang khusus berkenaan dengan konteks desa.
Berturut-turut disebutkan SDGs Desa 1 ialah Desa tanpa Kemiskinan (halaman 86-89). Diksi ini dipilih daripada mengakhiri kemiskinan, dengan ikon tabungan jago. Ada kekhasan warga desa untuk mengakhiri kemiskinan dengan memulai tabungan meskipun ditabung di dalam rumah.
SDGs Desa 2 ialah Desa tanpa Kelaparan. Penulis memilihnya daripada istilah mengakhiri kelaparan. Ikon bakul nasi menandai terbebasnya warga dari kelaparan karena sudah bisa makan nasi yang menjadi persentase pengeluaran terbesar keluarga-keluarga di desa saat ini.
SDGs Desa 3 adalah Desa Sehat dan Sejahtera, yang dipilih ketimbang kesejahteraan yang baik dan kesejahteraan. Ikon detak jantung bermakna kehidupan disusun lebih manusiawi dengan menambahkan tangan manusia.
SDGs Desa 4 ialah Pendidikan Desa Berkualitas, sebagai pilihan daripada pendidikan bermutu. Ikon warga desa membaca, yang ditandai warga bercaping, merujuk pada pendidikan seumur hidup melalui keberlanjutan membaca informasi terbaru.
SDGs Desa 5 Keterlibatan Perempuan Desa, dipilih daripada kesetaraan gender karena menunjukkan persoalan yang lebih dominan di desa ialah peningkatan keterlibatan perempuan.
SDGs Desa 6 ialah Desa Layak Air Bersih dan Sanitasi, yang dipilih daripada akses air bersih dan sanitasi. Ikon kendi berisi air lebih dikenal khalayak desa, yang menandai akses terhadap air minum yang layak.
SDGs Desa 7 bernama Desa Berenergi Bersih dan Terbarukan. Diksi itu dipilih daripada energi bersih dan terjangkau. Ikonnya merujuk pada energi bersih dan terbarukan yang bisa dipraktikkan di desa berupa pembangkit listrik dari kincir angin.
SDGs Desa 8 berupa Pertumbuhan Ekonomi Desa Merata, yang dipilih penulis ketimbang pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi. Ikon pertumbuhan ekonomi diletakkan pada warga desa bercaping agar terasa lebih dekat pada lingkungan desa.
SDGs Desa 9 tentang Infrastruktur dan Inovasi Desa sesuai Kebutuhan, sebagai pilihan daripada infrastruktur, industri, dan inovasi. Ikon jalan yang sangat panjang merefleksikan kebutuhan khas desa Nusantara, di mana selama ini dana desa juga diarahkan sesuai kebutuhan pembangunan 121.000 kilometer jalan tersebut.
SDGs Desa 10 ialah Desa Tanpa Kesenjangan. Diksi ini lebih tegas daripada frasa mengurangi ketimpangan. Ikon timbangan yang sejajar antarpenduduk desa bercaping mengindikasikan kesejahteraan yang merata sehingga warganya berdiri sejajar satu sama lain.
SDGs Desa 11 berupa Kawasan Permukiman Desa Aman dan Nyaman. Jelas ini lebih tepat daripada diksi kota dan komunitas yang berkelanjutan. Ikon rumah khas di desa dengan lingkaran tidak terputus menandai permukiman desa yang terus lestari atau berkelanjutan.
SDGs Desa 12 adalah Konsumsi dan Produksi Desa Sadar Lingkungan, menggantikan konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab. Ikon berupa warga desa membuang sampah ke tong sampah yang terseleksi karena lebih jelas menunjukkan pengumpulan sampah terpilah agar digunakan lembaga bank sampah untuk diolah kembali menjadi barang produktif.
SDGs Desa nomor 13 ialah Desa Tanggap Perubahan Iklim, sebagai pilihan dari penanganan perubahan iklim. Karena, iklim merujuk pada kondisi regional sampai global sehingga peran utama desa bukan terutama menanganinya, melainkan tanggap melakukan mitigasi perubahan iklim. Ikon kebebasan anak-anak bermain air hujan menunjukkan iklim yang terjaga sehingga menyehatkan bagi manusia, bahkan bagi anak-anak sekalipun.
SDGs Desa 14 adalah Desa Peduli Lingkungan Laut, yang dipilih menggantikan menjaga ekosistem laut. Ikon nelayan desa menebar jalan di pesisir yang dangkal mengilustrasikan ekosistem lautan yang terjaga sehingga mudah untuk menjala ikan.
SDGs Desa nomor 15 ialah Desa Peduli Lingkungan Darat, dipilih daripada menjaga ekosistem darat. Ikon sawah yang subur hingga membuahkan padi bernas menandai lingkungan yang tetap terjaga kelestariannya.
SDGs Desa nomor 16 yaitu Desa Damai Berkeadilan, menggantikan frasa perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang kuat. Ikon kentungan menandai desa yang aman, damai, dan berkeadilan.
SDGs Desa nomor 17 ialah Kemitraan untuk Pembangunan Desa, menggantikan kemitraan untuk mencapai tujuan. Ikon hubungan antara warga dan pihak-pihak lain menekankan kemitraan yang berguna.
SDGs Desa 18
Secara khusus penulis menambahkan SDGs Desa nomor 18: Kelembagaan Desa Dinamis dan Budaya Desa Adaptif. Tambahan untuk menunjukkan kekhasan pembangunan desa Indonesia.
Kunci keberhasilan implementasi SDGs Desa ialah kelembagan desa yang dinamis. Lembaga sendiri dipahami sebagai temuan manusia agar bisa mengorganisasikan kerja. Penulis memandang beberapa lembaga desa sangat penting, yaitu pemerintahan desa, musyawarah desa sebagai pengejawantahan kehendak warga, lembaga kemasyarakatan desa.
Adapun budaya ibarat rumah bagi kehidupan sosial sehingga adaptasi budaya menjadi penting agar proses perubahan yang didorong tetap dirasakan selaras oleh warga desa.
Secara keseluruhan buku ini memberikan banyak pandangan baru, terutama berkaitan dengan pengembangan desa-desa di Indonesia. Mungkin satu-satunya yang terasa kurang dari buku ini ialah metode penerapan dan hasil-hasil SDGs Desa.
Penulis memberi jawaban bahwa ini adalah buku pertama dari trilogi SDGs Desa. Buku ini memang menekankan konsep SDGs Desa. Metode implementasinya dijanjikan pada buku kedua. Adapun hasil SDGs Desa dijanjikannya pada buku ketiga.
Tampaknya penulis benar-benar bersiap menumbuhkan asa baru membangun desa.
Sumber: https://mediaindonesia.com/weekend/360846/membangun-asa-baru-desa